Selasa, 12 Oktober 2010

Senin, 12 Juli 2010

persiden sueharto pidato

Teknologi Pangan dan Pertanian pada 8:38 am oleh boskhamim

Pertanian Indonesia di tahun 2006 masih tetap menghadapi persoalan-persoalan klasik. Kelangkaan pupuk menjelang masa tanam, kekeringan di saat kemarau, kebanjiran di musim hujan, harga anjlok ketika panen, mencekik saat paceklik, serta konversi lahan yang kian tak terbendung.

Jika kelangkaan pupuk, kekeringan, banjir, hama, dan penyakit dampaknya terhadap produksi pertanian, terutama padi, tidak bersifat permanen, dampak berkurangnya lahan pertanian karena konversi akan bersifat permanen terhadap turunnya produksi. Sekali lahan pertanian, terutama sawah, beralih fungsi, mustahil kembali lagi menjadi sawah.

Kekhawatiran terhadap kelangkaan pupuk dan anjloknya harga beras selalu disuarakan dengan lantang oleh para wakil rakyat karena khawatir produksi pangan nasional merosot. Anehnya, soal konversi lahan nyaris tidak pernah mendapat perhatian. Jangankan ”suara lantang”, yang sayup-sayup pun hampir tak terdengar. Padahal, dampaknya jelas dan permanen terhadap produksi pangan nasional.

Kebutuhan pangan terus naik dari tahun ke tahun. Tahun 2020 diperkirakan perlu 9,3 juta hektar sawah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. Saat ini luas sawah hanya 8,11 juta hektar, 45 persen di antaranya ada di Jawa dan Bali. Dari tahun ke tahun bukan perluasan yang terjadi, tetapi justru luas sawah kian menyusut (tabel: Neraca Lahan Sawah di Indonesia).

Kerugian investasi

Konversi lahan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi pangan, tetapi juga hilangnya investasi untuk membangun irigasi dan prasarana lainnya. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto dari Pusat Studi Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), nilai investasi per hektar sawah tahun 2000 lebih dari Rp 25 juta dan tahun 2004 mencapai Rp 42 juta per hektar.

Jika biaya pemeliharaan sistem irigasi dan pengembangan kelembagaan pendukung juga diperhitungkan, investasi untuk mengembangkan ekosistem sawah akan mencapai lima kali lipat dari angka tersebut.

Belum lagi kerugian ekologis bagi sawah di sekitarnya akibat alih fungsi sebagian lahan, antara lain hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu mengurangi banjir. Kerugian itu masih bertambah dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh tani, penggilingan padi, dan sektor- sektor pedesaan lainnya. Sektor pertanian, terutama padi, merupakan sektor yang paling banyak menyediakan lapangan kerja.

Pendapatan kotor usaha tani padi sekitar Rp 5,2 juta per hektar per musim. Sementara biaya produksi per hektar per musim Rp 2,3 juta, sekitar 45 persen untuk ongkos tenaga kerja. Dengan alih fungsi, berarti petani kehilangan peluang pendapatan Rp 2,9 juta per hektar per musim, dan buruh tani kehilangan Rp 1,05 juta per musim.

Bagi pemilik lahan, mengonversi lahan pertanian untuk kepentingan nonpertanian saat ini memang lebih menguntungkan. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada di lokasi yang berkembang.

Riman (65), misalnya, rela mengubah kebunnya menjadi petak-petak kontrakan daripada tetap menanam palawija. Alasannya, dengan tiga petak rumah yang dibangun di atas tanah 150 meter persegi, setiap bulan dia memperoleh dari kontrakan rumah sekitar Rp 750.000.

”Sementara kalau saya tanami mentimun, paling dapat sekarung, harganya cuma Rp 15.000 sampai Rp 20.000. Itu pun masih harus menunggu 40 hari dan harus mikir beli urea, bibit, dan tenaga yang dikeluarkan,” ujar warga Kampung Pondok Serut, Desa Pakujaya-Serpong, Tangerang, yang lahannya terkepung tembok real estate itu.

Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, konversi lahan menjadi ”bencana” karena mereka tidak serta-merta bisa beralih pekerjaan. Mereka terjebak pada kian sempitnya kesempatan kerja. Bakal muncul masalah sosial yang pelik.

Penelitian Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto memperkuat hal ini, yaitu jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif. Karena, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan dan industri, akses ke lokasi tersebut akan semakin baik. Ini mendorong naiknya permintaan lahan oleh investor lain, atau spekulan tanah, sehingga harganya semakin tinggi, membuat petani pemilik lahan lain menjual lahannya.

Paradigma baru

Menurut Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Pascasarjana IPB MT Felix Sitorus, alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan nonpertanian terkait paradigma pertanahan penguasa. Di era kolonialisme Inggris (1811-1816), paradigmanya adalah tanah untuk negara, semua tanah milik raja atau pemerintah, petani wajib membayar pajak dua per lima dari hasil tanah garapannya. Masa tanam paksa (1830-1870), paradigmanya tetap tanah untuk negara, pemerintah menjadi pemilik tanah, dan kepala desa meminjam tanah itu, selanjutnya dipinjamkan kepada petani. Petani tidak membayar pajak, tetapi seperlima dari tanahnya harus ditanami komoditas tertentu yang hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Paradigma bergeser pada era kapitalisme kolonialisme (1870-1900), yaitu tanah untuk negara dan swasta, pemerintah memberikan hak erpacht 75 tahun kepada pemodal.

Di era pemerintahan Presiden Soekarno, paradigma diubah menjadi tanah untuk rakyat dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang diikuti landreform (1963-1965) soal penetapan luas tanah pertanian. ”Tetapi hanya sebentar, belum terimplementasi dengan baik. Pemerintahan Soeharto mengembalikan paradigma, yaitu tanah untuk negara dan swasta, dan itu berlangsung sampai kini, apalagi adanya Perpres No 36/2005,” kata Felix.

Krisis paradigma pertanahan yang berlangsung lama di Indonesia terlihat setidaknya dari banyaknya kasus sengketa tanah antara rakyat dan pemerintah atau pengusaha. Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2002 mencatat ada 1.920 kasus sengketa tanah, yang melibatkan 1.284.557 keluarga dengan luas lahan 10,512 juta hektar.

”Oleh karena itu, sebelum ditetapkan keputusan menyediakan lahan abadi pertanian seluas 15 juta hektar, harus jelas dulu itu untuk siapa, apakah tanah pertanian abadi untuk negara, swasta, atau petani. Selama paradigmanya masih tanah untuk negara dan swasta, konversi lahan masih tetap akan terjadi. Sementara bagi petani, bertani bukan sekadar untuk alasan ekonomi, tetapi bagian dari pandangan hidupnya,” ujar Felix.

Setidaknya telah ada sembilan peraturan, mulai dari keputusan presiden, peraturan Menteri Dalam Negeri, peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, hingga surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, yang mengendalikan konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Semua itu tidak efektif menghentikan konversi. Persoalan ini tidak cukup hanya dihadapi dengan peraturan perundang-undangan karena masalahnya bukan hanya persoalan kebutuhan sektor lain akan lahan, tetapi menyangkut kesejahteraan petani, kepentingan keuangan pemerintah daerah, para pengejar rente, serta kebijakan dasar perekonomian yang ingin dibangun.

Diperlukan komitmen yang kuat untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian, yang diwujudkan pada visi baru dalam kebijakan yang dilaksanakan. Keberpihakan pada kesejahteraan petani, kepentingan menjaga ketahanan pangan nasional, serta menjaga kelestarian lingkungan harus dinyatakan dengan jelas.

Menjadikan sektor pertanian sebagai lapangan usaha yang menarik dan bergengsi secara alami dapat mencegah terjadinya konversi lahan. Jika konversi terus terjadi tanpa terkendali, hal itu tidak saja melahirkan persoalan ketahanan pangan, tetapi juga lingkungan dan ketenagakerjaan.

Minggu, 13 Juni 2010

BRIKET TEMPURUNG KELAPA

BRIKET TEMPURUNG KELAPA ( COCONUTS SHELL BRIQUET )

September 19, 2008 in Informasi | Tags: ARANG TEMPURUNG KELAPA, BRIKET TEMPURUNG KELAPA, COCONUTS SHELL BRIQUET | 5 comments

Briket Tempurung Kelapa adalah bahan bakar alternatif terbuat dari bahan baku tempurung kelapa yang sudah di olah menjadi briket dan di harapkan menjadi bahan bakar pengganti sebagai pilihan yang dibutuhkan masyarakat

1. HEMAT & EKONOMIS. Hasil Lab. SUCOFINDO menunjukkan , bahwa Briket Tempurung Kelapa yang berkualitas B ( khusus untuk rumah tangga, rumah makan / restauran , home industri dan lain-lainnya) produksi PT. Marga Okapallo memiliki kalori 6481/kg dan mudah terbakar, menghasilkan energi panas tinggi dan tahan lama sehingga secara ekonomis menggunakan Briket Tempurung Kelapa akan lebih hemat apabila dibandingkan dengan jenis bahan bakar lainnya.

2. AMAN &RAMAH LINGKUNGAN. Diolah tanpa menggunakan bahan kimia, pada saat digunakan abunya tidak berterbangan dan tidak berasap , tidak meninggalkan noda hitam pada peralatan yang digunakan ( alat-alat dapur dan lain-lainnya) tidak mengeluarkan bau menyengat / aroma tidak sedap yang dapat mengganggu aktifitas kerja kesehatan maupun lingkungan.

KOMBET ( KOMPOR BRIKET)s

1. AMAN DAN PRAKTIS . – Kombet ( kompor briket) aman dan praktis saat digunakan, tidak menimbulkan resiko ledakan dan mudah perawatan .

2. BEBAS POLUSI DAN EKONOMIS. – Kombet ( kompor briket) dengan bahan bakar briket tempurung kelapa, sungguh memberikan nilai tersendiri bagi yang memahami pentingnya makna Sehat dan Hemat.

Keunggulan Briket Batok Kelapa

1. Lebih murah dan Ekonomis

2. Panas yang tinggi dan kontinyu sehingga sangat baik untuk pembakaran yang lama

3. Tidak beresiko meledak/terbakar seperti Kompor Minyak Tanah atau Kompor Elpiji

4. Tidak mengeluarkan suara bising serta tidak berjelaga sehingga tidak membuat alat2 memasak anda menjadi rusak

5. Sumber Briket Batok Kelapa berlimpah

6. Ramah Lingkungan dan aman Bagi Kesehatan terutama bagi Ibu-Ibu yang sering memasak didapur

PETUNJUK PEMAKAIAN :

1. Buka tutup sarangan kompor
2. Angkat sarangan kompor
3. Ambil pemantik, isi dengan kapas secukupnya dan beri spiritus sampai kapas basah dengan rata.
4. Taruh kembali pemantik pada tempatnya.
5. Tempatkan sarangan dan beri briket 10 – 11 biji.
6. Nyalakan pemantik melalui lubang samping.
7. Tunggu hingga briket terbakar sempurna ( ± 15 menit ).
8. Siap untuk digunakan.

Cara mematikan :

1. Ambil briket satu persatu, celupkan pada air sisi per sisi agar tidak pecah.
2. Atau, ambil briket satu persatu, semprot dengan sprayer berisi air.

PROSPEK PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA

Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan �Back to Nature� telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.

Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat.

Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Pasar produk pertanian organik dunia meningkat 20% per tahun, oleh karena itu pengembangan budidaya pertanian organik perlu diprioritaskan pada tanaman bernilai ekonomis tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.

Peluang Pertanian Organik di Indonesia

Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.

Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea.

Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut.

Areal tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar (Tabel 1). Sayuran, kopi dan teh mendominasi pasar produk pertanian organik internasional di samping produk peternakan.

Tabel 1. Areal tanam pertanian organik masing-masing wilayah di dunia, 2002

No. Wilayah Areal Tanam (juta ha)

1. Australia dan Oceania 7,70
2. Eropa 4,20
3. Amerika Latin 3,70
4. Amerika Utar 1,30
5. Asia 0,09
6. Afrika 0,06

Sumber: IFOAM, 2002; PC-TAS, 2002.

Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.

Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar global. Oleh sebab itu komoditas-komoditas eksotik seperti sayuran dan perkebunan seperti kopi dan teh yang memiliki potensi ekspor cukup cerah perlu segera dikembangkan. Produk kopi misalnya, Indonesia merupakan pengekspor terbesar kedua setelah Brasil, tetapi di pasar internasional kopi Indonesia tidak memiliki merek dagang.

Pengembangan pertanian organik di Indonesia belum memerlukan struktur kelembagaan baru, karena sistem ini hampir sama halnya dengan pertanian intensif seperti saat ini. Kelembagaan petani seperti kelompok tani, koperasi, asosiasi atau korporasi masih sangat relevan. Namun yang paling penting lembaga tani tersebut harus dapat memperkuat posisi tawar petani.

Pertanian Organik Modern

Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem pertanian Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang.

Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya.

Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:

a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait.

b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.

Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan, (Tabel 2). Menghadapi era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional.

Tabel 2. Komoditas yang layak dikembangkan dengan sistem pertanian organik

No. Kategori Komoditi

1. Tanaman Pangan Padi
2. Hortikultura Sayuran: brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho putih, kubis tunas, bayam daun, labu siyam, oyong dan baligo. Buah: nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis.
3. Perkebunan Kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan kopi.
4. Rempah dan obat Jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temuan lainnya.
5. Peternakan Susu, telur dan daging

PERTANIAN DI JEPANG

Pertanian Organik di Jepang

Jepang dikenal sebagai negara paling maju di Asia. Namun tahukah anda, bahwa pertanian disana ternyata masih kuat nuansa ‘tradisional’nya? Bagaimana itu? Mari kita simak selengkapnya!

Begitu kita berada di luar Tokyo, terjadilah anomali. Ini terjadi karena ternyata Negeri matahari terbit ini juga merupakan negeri para petani lokal/kecil. Di Fukuoka, kota terbesar nomor tujuh di Jepang, ladang padi yang damai terselip diantara rumah dan candi, dalam bayang-bayang pencakar langit yang hanya berjarak 10 mil.

Di iklim yang sangat kondusif ini, pertanian keluarga menanam buat dan sayuran dalam siklus tahunan, untuk memproduksi bahan pangan bagi kota berpenduduk 1,3 juta ini. Di daerah suburban, dimana pertanian lokal jauh lebih banyak, konsumen sering mendapatkan sayuran yang baru dipetik tadi pagi untuk makan malam. Di supermarket pada jantung kota Fukuoka, adalah umum untuk mendapatkan sayuran yang dipanen sehari sebelumnya.

Hasil pertanian segar

Jika anda menggigit tomat atau stroberi disini, maka efek dari kesegarannya akan segera terasa. Mereka sangat penuh cita rasa, sehingga tidak perlu dipersiapkan lebih lanjut lagi. Bahkan anak-anak menyukai sayuran, termasuk juga yang dianggap tidak enak seperti bayam atau kacang-kacangan.

Jepang memiliki istilah untuk hasrat terhadap makanan lokal dan segar: chisan, chishou, yang berarti, ‘produksi lokal, dan konsumsi lokal’.

Preservasi chisan-chisou pada salah satu negara yang paling terurbanisasi di dunia merupakan teladan yang baik, bahwa di negara lain yang terurbanisasi hal ini juga dapat diterapkan.

Dengan perkecualian Hokkaido, pulau Jepang yang paling utara dan paling rural, sebagian besar pertanian di Jepang adalah operasi skala kecil yang dijalankan oleh beberapa anggota keluarga. Hasilnya tidak hanya pada kesegaran makanan lokal, namun juga dedikasi untuk terhadap produk. Anggur dan peach, diantara buah lain, mereka lindungi dengan pelindung, sewaktu masih tumbuh, untuk melindungi mereka dari serangga dan gangguan lain. Tanah pun dipetakkan dengan baik, sehingga sayuran akan tumbuh dari dalam beberapa kaki. Dengan bantuan dari rumah kaca, hal ini membantu pasokan tanaman dari musim semi, panas, gugur, dan dingin. Sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh tangan. Petani Jepang memproduksi semangka kotak, dari trik bonsai dengan membentuk semangka menjadi kubus sewaktu ia tumbuh, sehingga ia dapat dimasukkan kedalam kulkas. Ini menunjukkan dedikasi mereka terhadap pertanian.

Bantuan Pemerintah

Dalam era modern ini, generasi muda sudah mulai tidak tertarik atau mengapresiasi pertanian chisan chishou. Namun, pemerintah Jepang tidak tinggal diam. Mereka memberikan insentif-insentif, untuk mengakselerasi pertanian lokal. Di 20 tahun terakhir ini, pemerintah telah memfasilitasi pertanian lokal untuk memasuki pasar. Menjual tanah pertanian kepada kepentingan komersial, akan dipajaki sangat tinggi oleh pemerintah, sementara memberikan tanah tersebut ke anak untuk pertanian hanya dipajaki sangat minim. Pusat pertanian juga mengundang anak-anak sekolah untuk menanam dan memanen, untuk meningkatkan minat mereka. Pertanian kadang menjadi bagian dari kurikulum sekolah.

Minoru Yoshino dari Pusat Penelitian Pertanian Fukuoka menjabarkan peran pemerintah pada chisan-chishou dalam tiga hal. Makanan lokal yang segar adalah lebih sehat, dan rasa yang nikmat akan meningkatkan konsumsi sayuran. Sementara, pertanian lokal adalah lebih baik bagi kelestarian lingkungan, karena hanya memerlukan air dan pestisida lebih sedikit.

ARTI PERTANIAN ORGANIK

Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia. Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan degradasi sumber daya alam tidak dapat dikategorikan sebagai pertanian organik. Sebailknya, sistem pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun mengikuti aturan pertanian organik dapat masuk dalam kelompok pertanian organik, meskipun agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi organik.
Diterbitkan di: Juli 16, 2007

petani

PRINGSEWU - Untuk bisa mendorong petani di wilayah Kabupaten Pringsewu supaya mereka mau menggembangkan pertanian organik ramah lingkungan. Kondisi itu harus didukung dengan adanya beberapa pertimbangan aspek seperti teknologi, ekonomi, sosial kultur, jalinan kemitraan serta penguatan unit-unit kelembagaan yang ada.
Aspek teknologi sedianya harus dibarengi dengan disiapkannya teknologi-teknologi yang bisa mendukung proses berjalannya pertanian tersebut. “Yang ditekankan dalam aspek teknologi ini adalah adanya kesetaran unsur hara tanah dari pola non-organik menuju organik. Sebab, pertanian organik dalam prakteknya akan berdampak pada terjadinya penyusutan hasil produksi, hingganya tak jarang membuat petani harus berfikir dua kali,”jelas Djunaidi Hasyim, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pringsewu, Selasa (23\02).
Hal lain yang juga harus menjadi pertimbangan dalam pertanian organik lanjut Djunaidi, adalah aspek ekonomi dari petani itu sendiri. Dengan petani menanam padi organik lanjut dia, maka secara otomatis pupuk yang mereka gunakan juga pupuk organik. Bila petani bisa memproduksi pupuk organik secara mandiri dan dalam jumlah yang banyak, hingganya perlu diciptakan peluang pasar produktif yang bisa terus memotifasi mereka.
“Selain itu perlu juga dibangun unit-unit kelembagaan pengelolaan pupuk organik yang terintegrasikan dengan peternakan yang ada dan juga jalinan komunikasi kemitraan. Termasuk didalamnya membangun rintisan model kawasan kecil yang berorientasi organik. Sebab, kata kunci dari itu semua adalah peluang pasar,”tandasnya.
Dengan adanya peluang pasar sambung dia, maka secara otomatis usaha tani yang dilakukan akan bisa meningkatkan pendapatan mereka. Tak kalah pentingnya dari beberapa aspek yang harus dipenuhi yaitu aspek sosial kultur masyarakat petaninya sendiri. Sebab, aspek ini merupakan modal awal dan utama guna bisa mengembangan pertanian organik tersebut,”pungkasnya. (cw18/ikomar)

| redaksi: jl. gatot subroto no. 16 pahoman - bandarlampung
| email: translampung@yahoo.com
| telp: 0721 - 258595

Senin, 14 Juni 2010 | 11:47:29

Rabu, 19 Mei 2010

Pertanian Berkelanjutan

Definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian.

Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input) secara khusus ditulis oleh Franklin H. King dalam bukunya Farmers of Forty Centuries. King membandingkan penggunaan input minimal dan pendekatan berkelanjutan pada pertanian daratan Timur (oriental) dengan apa yang dia lihat sebagai kesalahan metoda yang digunakan petani Amerika. Gagasan King adalah bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal.

Baru-baru ini, Undang-undang Produktivitas Pertanian Amerika, yang merupakan bagian dari Undang-undang Keamanan Pangan 1985, menyediakan kewenangan untuk melaksanakan program riset dan pendidikan pada sistem pertanian alternatif -yang kemudian dikenal sebagai pertanian berkelanjutan dengan input minimal (Low Input Sustainable Agriculture (LISA)). Pada bulan Desember 1987, Kongres Amerika menyetujui US $ 3,9 juta untuk memulai pekerjaan tersebut atas dasar undang-undang Keamanan Pangan. Undang-undang tersebut memberikan mandat untuk melakukan investigasi ilmiah pada a) peningkatan produktivitas pertanian, b) produktivitas lahan sentra produksi, c) mengurangi erosi tanah, kehilangan air dan nutrisi, dan d) melakukan konservasi sumberdaya natural dan energi.

Petani Amerika saat ini sedang mencari sumberdaya yang efisien, biaya lebih rendah, dan sistem-sistem produksi yang lebih menguntungkan. Siapapun yang bergerak di bidang pertanian seharusnya berbagi kepedulian yang lebih luas pada masyarakat dalam mendukung lingkungan yang bersih dan nyaman. Selama sepuluh tahun terakhir, telah terjadi paradigma yang mengangkat masyarakat pertanian dari kondisi yang mengharuskan produktivitas lebih tinggi menuju suatu kondisi masyarakat yang peduli pada keberlanjutan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kesalahan bahwa produktivitas yang tinggi dari kegiatan pertanian konvensional telah menimbulkan biaya kerusakan yang cukup siginifikan terhadap lingkungan alam dan disrupsi masalah sosial.

Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan yang berbeda telah direkomendasikan sebagai alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Kepentingan dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu perubahan usaha tani adalah keingingan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi. Adopsi terhadap metode pertanian alternatif yang lebih lebar ini membutuhkan bahwa metode tersebut sedikitnya sama kualitasnya dalam memperoleh keuntungan dengan metode konvensional atau memiliki keuntungan-keuntungan non-keuangan yang signifikan, seperti sebagai usaha menjaga penurunan kualitas sumberdaya air dan tanah secara cepat.

Riset dan pendidikan bergerak terbatas diantara para peneliti atau mahasiswa. Sebagaimana seorang mahasiswa menjadi lebih baik diberikan pendidikan mengenai pengetahuan praktis pertanian berkelanjutan, lebih memiliki minat dan dana akan ditingkatkan untuk mendukung riset selanjutnya. Jaminan peneliti dan ketersediaan dana penelitian ini akan lebih memberikan harapan untuk meningkatkan minat pada pendidikan yang memandu riset selanjutnya secara umum. Pooling pendapat yang dilakukan mahasiswa di sejumlah fakultas seluruh Amerika menunjukkan ketertarikan pada pertanian berkelanjutan. Kebanyakan mereka mempertanyakan masalah-masalah pertanian berkelanjutan sebagai sebuah pemikiran yang tidak dapat diadopsi dalam program agroekologi. Mereka memberikan komentar bahwa penurunan dampak lingkungan akibat usaha pertanian berkelanjutan sebagai sebuah keuntungan yang besar dari meninggalkan usaha pertanian konvensional. Lebih banyak riset yang dilakukan pada pertanian berkelanjutan ini, program-program pendidikan yang lebih baik akan dapat dilaksanakan di wilayah ini.

Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan dilaksanakan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi. Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja terhadap mereka yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensi-konsekuensi negatif dari jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial tersebut sebab insentif-insentif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini.

Selasa, 18 Mei 2010

PERTANIAN ORGANIK

PERTANIAN ORGANIK : Pertanian Masa Depan yang Menjanjikan


Dewasa ini pertanian organik (PO) berkembang cukup pesat di Indonesia. Ini merupakan salah satu ptanda positif bahwa PO mulai mendapat tempat di hati masyarakat, baik produsen maupun konsumen.Namun, demikian perkembangan yang positif ini perlu dicermati agar tidak memunculkan bias-bias yang justru merugikan kehidupan di masa depan. Di sisi lain, kendala pengembangan PO di Indonesia juga masih besar, bahkan lebih besar dibandingkan laju perkembangannya. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga tak heran jika sampai kini PO masih menjadi wacana marjinal dan diragukan kemungkinannya sebagai pertanian masa depan yang menjanjikan.

Faktor Penunjang PO
Perkembangan PO di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan PO dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utaman PO domestik adalah karena tingginya permintaan PO di negara-negara maju. Tingginya permintaan PO di negara-negara maju dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk PO), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik, (7) adanya kampanye nasional PO secara gencar (Hamm, 2000).

Upaya di atas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan PO dunia mencapai 15-20% pertahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal PO terus meningkat dari rata-rata dibawah 1% (dari total lahan pertanian) tahun 1987, menjadi 2-7% di tahun 1997 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2000). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk PO dari negara-negara berkembang.

Selain faktor di atas, perkembangan PO di Indonesia juga didorong oleh munculnya keadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Sebagian lagi, didorong oleh kampanye dan advokasi aktivis LSM baik dalam isu lingkungan maupun pendampingan petani. Di kalangan petani sendiri mulai muncul kesadaran untuk menerapkan PO, terutama di basis yang didampingi LSM atau area yang belum tersentuh kebijakan Revolusi Hijau.

PO, Malthusianisme dan Reduksionisme
Dibalik kabar baik mengenai PO sebagaimana disebut dimuka, secara obyektif masih banyak kendala dalam pengembangannya. Bahkan, kendala ini masih lebih besar dan kuat dibanding kemajuannya. Secara faktual pelaku PO masih sangat sedikit di seluruh dunia, yakni kurang dari 2 % terhadap seluruh pelaku pertanian yang ada.

Kendala yang ada jika ditilik lebih jauh, ada yang berakar dari kesangsian mengenai kemampuan PO dalam memecahkan persoalan pemenuhan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Argumen pertama yang biasa mengemuka adalah anggapan bahwa produktivitas PO rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Argumen kedua, PO dianggap sebagai pertanian masa lalu yang tidak produktif dan di tingkat tertentu anti teknologi. Argumen ketiga, PO tidak layak secara ekonomis dan karenanya tidak menguntungkan.

Kesangsian PO tidak mampu menyelesaikan persoalan kebutuhan pangan sudah menjadi perdebatan lama. Menurut para birokrat, akademisi dan pengambil keputusan publik, PO secara teknis dianggap tidak mampu memberikan produktivitas hasil yang tinggi, sehingga tidak bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi manusia. Jika dilihat lebih dalam, pemikiran ini beranjak dari ?kekuatiran Malthusian? yang menganggap bahwa pertambahan manusia lebih cepat daripada laju pangan. Kekuatiran inilah yang mendasari pencarian teknologi yang mampu melipatgandakan hasil pangan dan pertanian.

Namun, teknologi yang berkembang kemudian justru teknologi yang menjadikan produktivitas sebagai tujuan utama pertanian, dengan mangabaikan tujuan lain. Hal ini nampak jelas, dalam program Revolusi Hijau, dimana selain hasil yang tinggi, faktor lingkungan, kenekaragaman hayati, konservasi dan keselamatan keberlanjutan pertanian diabaikan.

Pemujaan produktivitas yang berlebihan dengan meletakkan benih unggul, pupuk dan pestisida sebagai determinan kunci pada gilirannya melupakan bahwa persoalan pangan bukan semata soal produktivitas, tetapi juga soal manajemen institusi menyangkut distribusi, pengairan, inovasi teknologi lain dsb. Amartya Sen, ekonom India penerima nobel, dalam satu stusi kasusnya di tahun 1980-an menemukan satu daerah di India mengalami kelaparan hebat, tetapi di daerah lain berkelimpahan pangan. Terbukti kelaparan, menurutnya, bukan soal sekedar kelangkaan pangan (karena teknologi rendah), tetapi juga soal kepemilikan dan akses terhadapnya (Wacana ELSPPAT, edisi 3, 1996).

Syarifuddin Karama, staf ahli Menteri Pertanian RI, dalam Seminar Standarisasi PO di Bogor Juli 2001, pernah menyebutkan adanya inefisiensi pengelolaan irigasi Indonesia. Efektivitas pengairan di Indonesia hanya sekitar 15% pada musim hujan, dan 4% pada musim kemarau. Sementara di India, baik musim hujan dan kemarau efektivitasnya mencapai 40%. Dengan pengairan tersebut, produksi jagung per ha di India mencapai 10 ton, sedang ubi kayu mencapai 60 ton per ha. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 4 ton/ha untuk jagung dan 15 ton/ha untuk ubi kayu. Jelas, perbaikan manejemen irigasi mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus mengubah perlakuan pemupukan.

Penemuan system rice of intensification (SRI) oleh Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton per ha, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10-15 ton per ha. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan transplantasi bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (ECHO Development Note, Issue 70, Januari 2001). Artinya, inovasi teknologi seperti ini mampu mengatasi pesimisme Malthusian.

PO Anti Teknologi?
Argumen bahwa PO adalah pertanian masa lalu, yang tradisional, subsisten dan tidak produktif, berakar dari cara pandang modernisme. Sekarang ini ada tuduhan, bahwa kearifan tradisional (pertanian cara lama) adalah anti teknologi (modern), sehingga menganjurkan PO seolah identik dengan anti teknologi dan menghambat kemajuan. Bahwa dalam praktek pertanian tradisional (PO) ada faktor inefisiensi adalah hal yang wajar. Tetapi, mengabaikan faktor kearifan lokal, budaya dan tujuan non produktivitas adalah solusi yang tidak bijak.

Perlu diluruskan juga, bahwa PO tidak anti teknologi. Pertanian organik juga bukan pertanian jaman baheula dan mau kembali ke tradisi kuno. Namun, pertanian organik adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dalam cara pandang ini manusia menjadi bagian dari alam dan tujuan terbesar dari praksis pertanian adalah untuk keberlanjutan alam semesta. Pemenuhan pangan adalah bagian intrinsik dalam keberlanjutan alam semesta itu sendiri. Dalam kerangka ini, pengembangan teknologi haruslah mengindahkan segala aspek kehidupan dalam keseimbangan dan keberlanjutan alam semesta. Tradisi lama atau kearifan lokal dirujuk dalam PO, lebih karena sumbangannya dalam paradigma holistik yang menghargai keselarasan alam, dibandingkan karena teknologinya.

PO Tidak Menguntungkan ?
Argumentasi lain menyangkut pesimisme PO adalah karena usaha PO dianggap tidak menguntungkan. Memang dalam jangka pendek, PO dengan kondisi teknologi yang sama sementara perlakuan pemupukan lebih rendah, akan memberikan hasil kurang optimal dibanding budidaya konvensional. Tetapi jika dikombinasikan pemakaian pupuk organik, pengendalaian organisme pengganggu tanaman secara baik, dengan inovasi teknologi (seperti SRI, misalnya) yang tepat akan mampu memberikan hasil yang relatif sama. Yang pasti, dalam jangka panjang PO memberikan jaminan akan kualitas tanah dan ekosistem lokal yang lebih baik. Pengalaman Yayasan Bina Sarana Bakti, di Cisarua telah membuktikan hal ini setelah 15 tahun bergelut di bidang PO.

Ilustrasi dalam bagian pertama tulisan ini telah mengindikasikan bahwa ketika permintaan meningkat maka nilai keuntungan akan membayanginya. Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan harga. Produk PO sekarang menjadi produk eksotis yang dicari. Dengan banyakya permintaan otomatis nilai jual ekonomis produk PO ikut naik. Inilah daya tarik PO dunia sekarang ini.

Jadi, keraguan bahwa PO tidak menguntungkan secara ekonomis, dapat diretas dengan adanya premium price di tingkat konsumen. Maka tidak mengherankan jika sekarang mulai bermunculan pengusaha PO skala besar di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang merupakan pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatra dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi.

Bisnis sebagai Ancaman
Terlepas bahwa mayoritas orang Indonesia, utamanya para birokrat, peneliti dan pengambil keputusan politik pertanian masih menyangsikan PO, secara nyata PO mulai bermunculan. Dan, pemicu utamanya adalah keuntungan ekonomis. Bisnis PO semakin banyak karena menyimpan keuntungan besar. Sebenarnya kalangan birokrat sekarang pun mulai melirik PO, tetapi yang menggerakkan mereka bukan soal kesadaran ekologis tetapi lebih karena negara maju banyak yang mencari. Artinya peluang meraup devisa.

Sebenarnya bisnis dalam PO sama saja bisnis di tempat lain. Yang dicari: keuntungan Soal lingkungan menjadi sehat adalah ?bonus?. Memang dalam hal ini ?bonus?nya bernilai lebih, karena tidak saja menyerap lapangan kerja baru tapi juga merehabilitasi lingkungan. Dengan demikian bisnis PO memberikan kredit poin tersendiri. Apakah dengan demikian bisnis ini tidak perlu dicermati?

Salah satu watak bisnis kapitalistis adalah kehausannya akan profit yang semakin besar. Sehingga jika ada peluang untuk semakin memperbesar keuntungan, segala cara bisa saja menjadi benar. Kecenderungan ini nampak dari perusahaan-perusahaan besar yang perlahan-lahan mencaplok perusahaan bisnis kecil, dan lama-lama menjadi perusahaan besar skala nasional, dan ujungnya menjadi perusahaan multi nasional. Bidang usahanyapun kian melebar, mulai dari bisnis hulu sampai hilirnya. Contohnya banyak, diantaranya Monsanto, TNC yang tidak saja berbisnis benih tapi juga farmasi/pestisida.

Di sektor PO gejala ini juga sudah terjadi. Di California, misalnya, awalnya PO dikerjakan oleh petani skala kecil dan dijual oleh pedagang dan retail kecil independen. Namun sekarang, Wild Oats, perusahaan ritel skala besar, perlahan-lahan mulai mengambil alih peran pedagang kecil dan diserap kedalam jaringannya. Muncullah monopoli, dimana Wild Oats kini memiliki tak kurang dari 105 supermarket PO di seluruh California (Jolly, 2000). Para pedagang kecil jika mau bertahan harus bergabung ke Wild Oats. Tak terasa telah terjadi marjinalisasi industri kecil PO oleh konglomerat besar. Pada gilirannya, kejadian ini tidak saja menyebabkan struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (kompetitif) tetapi juga memperlebar jurang distribusi pendapatan kesejahteraan.

Di Indonesia, konglomerat Setiawan Djodi mendirikan Bio-Kantata, sebuah perusahaan pupuk organik di Pasuruan, Jawa Timur. Perusahaan ini bekerjasama dengan kelompok petani, dengan dukungan pupuk dari perusahaan dan menjamin pasarnya, untuk membudidayakan padi organik. Dalam kerjasama ini petani diuntungkan. Kini, perusahaan ini mulai menjalin jaringan kerjasama dengan berbagai kelompok tani di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Nampak semuanya baik-baik saja. Petani diuntungkan, lingkungan juga menjadi sehat. Tetapi, perlu dicermati, ketika suatu perusahaan mengelola sarana produksi, mengkoordinir budidaya dan memasarkan hasil (menguasai hulu sampai hilir) akan memiliki kekuatan yang dominan dalam pengambilan keputusan. Petani kemudian hanya menjadi pelaksana teknis dari agribisnis perusahaan tersebut. Petani menjadi tergantung, karena input dan pasarnya dijamin. Tanpa sadar, petani akan menjadi buruh di lahannya sendiri. Mungkin kesejahteraan petani lebih baik, tetapi situasi ini tidak merubah kondisi petani dari ketergantungan terhadap pihak luar. Struktur pasar yang bersaing sempurna pun menjadi sulit terjadi dalam situasi demikian. Demokrasi ekonomi menjadi utopia dalam kenyataan ini.

Kondisi diatas menyiratkan kekuatiran bahwa PO kedepan (mungkin) hanya akan menyelesaikan persoalan ekologi, tetapi tidak membebaskan petani. Situasinya menjadi tidak berbeda dengan era revolusi hijau, yang membedakan dulu tergantung pada perusahaan input kimia, sekarang pada perusahaan input organik. Selain itu, demokrasi ekonomi juga semakin sulit manakala perusahaan raksasa menguasai hulu hingga hilir seluruh rantai bisnis.

Dalam skala global, kecenderungan TNC untuk melalap semua peluang ekonomi sudah sangat jelas. Modus mereka tidak saja menelan langsung perusahaan kecil di seluruh dunia, tapi juga menggunakan mulut dan tangan pemerintah. Mereka berdiri di belakang perjanjian perdagangan internasional dan kelahiran WTO, berinvestasi jutaan dollar di International Funds Institutions (IFI?s), dengan mendagangkan globalisasi kesejahteraan. Terlepas apapun yang mereka lakukan, yakinlah bahwa profit adalah tujuan utama mereka.

Bisnis PO, sebagaimana di tempat lain, karenanya perlu diawasi. Perkembangan dan perjuangan PO bukan sekedar isu ekologi dan kesejahteraan petani, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal kontrol dan akuntabilitas publik perusahaan swasta besar yang menentukan nasib hidup banyak orang.

Epilog
Pertanian Organik kini masih disangsikan kemampuannya dalam memberikan produktivitas yang tinggi oleh banyak orang dan kalangan. Karenanya tidak dipercaya memecahkan soal pertanian dan kecukupan pangan masa depan. Juga, masih diragukan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan di masa kini dan masa depan. Ini wajar, karena belum cukup banyak bukti PO berhasil membuka mata mereka.

Dalam kenyataannya, meski pelan, PO terus bertumbuh. Pendorong utamanya adalah kekuatan bisnis, selain permintaan yang besar. Mengingat watak bisnis kapitalistis yang serakah dan tak kenal henti akan keuntungan, maka bisnis PO perlu diawasi, utamanya yang besar. Persoalan PO kemudian bukan saja soal lingkungan yang lebih baik atau soal kesejahteraan ekonomi petani, tetapi juga menyangkut demokrasi ekonomi.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa perjuangan dan pengembangan PO, bukan sekedar soal bagaimana petani menjadi lebih sejahtera atau lingkungan menjadi sehat, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal merubah paradigma, soal pembebasan manusia. Peduli PO berarti peduli pada seluruh dan kelanjutan kehidupan ° Versi lengkap artikel ini pernah dimuat di bulletin PRO-ORGANIK, Konphalindo tahun 2002

Referensi
Hamm, Ulrich, Prof. dan Michelsen, Johannes, PhD. Analysis of the organic food market in Europe. Paper dalam Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. 2000
Jolly, Desmond. From cottage industry to conglomerates: the transformation of the US organic food industry. Paper dalam Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. 2000

Rabu, 12 Agustus 2009

FARMING 4 FUTURE

PENGEMBANGAN agrobisnis nasional, tak terlepas dari peningkatan kemampuan sumber daya manusia pertanian. Ini di antaranya diperoleh melalui pengembangan ilmu dan kemampuan usaha berbagai komoditas bernilai jual dan daya saing tinggi di pasaran.

MENTERI Pertanian, Anton Apriyantono, mengamati tampilan produk sayuran dan buah-buahan spesifik yang dikembangkan alumni magang Jepang, saat Temu Karya Nasional Ikamaja ke-2/2006, di Desa Cibodas, Kec. Lembang, Kab. Bandung, Kamis (9/11) lalu. *KODAR SOLIHAT/"PR"


Adalah para lulusan magang pertanian di Jepang atau dising kat Ikamaja (Ikatan Keluarga Alumni Magang Jepang), yang menjadi salah satu pionirnya. Mereka memperkenalkan produk-produk spesifik asal Jepang, untuk dikembang kan dan dibisniskan secara lokal sampai dikenal menjadi produk agro "asli" daerah.

Magang usaha pertanian ke Jepang merupakan program dari Departemen Pertanian mulai tahun 1984, bekerja sama dengan asosiasi pertanian Jepang. Siswa peserta umumnya para pelajar/lulusan Sekolah Pembangunan Pertanian-Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPP-SPMA)/ sederajat berusia 22-27 tahun dengan pengalaman usaha bertani minimal 2,5 tahun.

Mereka dididik di Jepang selama 8-12 bulan yang sampai tahun 2006 ini sudah menghasilkan 856 orang lulusan tergabung dalam Ikamaja. Selama di Jepang, para peserta magang diperkenalkan cara bertani dengan teknik modern, pengembangan wawasan bisnis, pengenalan komoditas berprospek bisnis, manajemen usaha tani modern, informasi pasar, dll.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Pertanian Departemen Pertanian, Ato Suprapto, menyebutkan, para alumni magang pertanian di Jepang, diharapkan menjadi agen pembangunan di daerahnya dengan membuka lapangan kerja di lingkungannya. Ilmu pengembangan bisnis dan usaha tani dari Jepang, diterapkan untuk memperoleh wawasan dan peluang bisnis baru dengan memanfaatkan potensi sekitar.

Melalui magang bertani di Jepang, peserta diubah pula pandangannya sehingga agrobisnis menjadi bergengsi. Ini diharapkan menjadi bekal bagi para pemuda tani untuk bersaing secara tangguh di kancah bisnis pertanian lokal dan internasional.

Menurut Ato, magang pertanian ke Jepang tetap menjadi program tahunan Departemen Pertanian, di mana tahun 2006-2007 saja, dikirimkan lagi 56 orang pemuda tani. Ini diharapkan pula menjadi salah satu daya tarik dan inovasi bagi berbagai sekolah pertanian untuk lebih menarik minat calon siswa.

Menurut Ketua Ikamaja Nasional, Ishak, para lulusan magang pertanian di Jepang sebagian besar muncul menjadi para pelaku agrobisnis berhasil, sebagian menjadi tenaga penyuluh andal di daerah, dan sangat sedikit yang gagal. Tentu saja, ini diperoleh melalui keseriusan oleh masing-masing individu yang magang usa ha bertani di Jepang tersebut.

Pengamat dari sebuah organisasi pertanian Jepang, Takumi Yamazaki, menilai, secara kemampuan teknis para pemuda tani Indonesia sudah menyamai dengan Jepang. Namun mereka mesti dipacu dalam pemanfaatan waktu, di mana para pemuda tani asal Indonesia masih di bawah peserta magang asal negara lain.

**

IKUT program magang bertani umumnya bukan ajang memperoleh pekerjaan, namun kesempatan memperdalam dan mengembangkan ilmu bidang yang ditekuni untuk berusaha. Prinsip ini disadari dan diterapkan oleh Ishak, sehingga berhasil menjadi seorang usahawan pertanian di daerah asalnya, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kab. Bandung.

Di atas lahan seluas lima hektare milik keluarga, Ishak bersama saudaranya, Bon Bon Purbansyah, kemudian merintis dan berbisnis berbagai produk pertanian asal Jepang. Sebut saja, tomat momotaro atau tomat daging, satoimo atau talas jepang, edamame atau kacang kedelai, bawang daun jepang, kacang bulu jepang, terong nasubi atau terong jepang, cabe jepang, dll., menjadi andalan bisnis mereka.

Menurut Ishak, apa yang diperoleh, tak terlepas dari ketekunan, pantang menyerah, dan jeli menerapkan ilmu magang usaha bertani dari Jepang. Sebelumnya, kemampuan dan pengetahuan bisnis pertaniannya pun masih pas-pasan dan sama seperti umumnya para petani lain.

Menurut Ishak, bisnisnya dimulai dengan memanfaatkan sisa uang saku yang diperoleh selama magang di Jepang selama delapan bulan pada tahun 1987. Sepulangnya, ia masih memiliki uang 240.000 yen atau jika dirupiahkan sebesar Rp 1,2 juta, kemudian dijadikan modal usaha bertani.

Berbagai benih buah-buahan dan sayuran asal Jepang yang dibawa, kemudian ditanam dan tumbuh baik di Desa Cibodas, yang kebetulan memiliki iklim dan syarat tumbuh sesuai. Kontan saja, produk-produk yang dibudidayakan lalu dikembangkan menjadi bisnis itu menarik perhatian pasar, apalagi bentuk, rupa, dan rasanya unik.

Disebutkan, pada awalnya produk buah-buahan dan sayuran yang diusahakan, sebatas untuk memasok konsumsi masyarakat Jepang di Indonesia yang sekira 8.000 orang. Belakangan, usaha dikembangkan dengan memasok berbagai pasar modern sebagai pasaran utama.

Walau asalnya impor Jepang, karena sudah lama dibudidayakan lokal, produk-produk yang diusahakannya kini sudah menjadi produk "asli" Kecamatan Lembang. Omzet usaha pun berkembang menjadi bernilai ratusan juta rupiah per tahun, dan mampu mempekerjakan 60 orang karyawan.